Pemimpin dibuat atau dilahirkan tdk penting, yg penting punya nurani apa tidak?

Pemimpin itu dilahirkan atau dibuat (yang berarti merupakan hasil kondisi lingkungannya dan pendidikannya)? Di balik pertanyaan ini pun terdapat dikotomi yang tidak tepat, suatu paradigma yang keliru karena mengandaikan adanya kepastian . Karena adanya ruang antara rangsangan dan tanggapan, kita memiliki kemampuan untuk memilih; karena itu, seorang pemimpin tidak dilahirkan maupun tidak dibuat (dalam arti bukan merupakan hasil didikan dan pelatihan lingkungannya). Pemimpin itu “dibuat sendiri” (self-made) melalui tanggapan-tanggapan yang ia pilih sendiri; dan kalau dia memilih berdasarkan prinsip serta mengembangkan disiplinnya semakin hari semakin besar, kebebasannya untuk memilih juga semakin besar. Dalam buku Geeks and Geezers: How Era, Values, and Defining Moments Shape Leaders, Warren G. Bennis dan Robert J. Thomas mengatakan bahwa para pemimpin itu dibuat, bukan dilahirkan. Konsep dasar yang mereka kemukakan adalah bahwa karena suatu pengalaman yang mendalam yang mengubah kehidupan mereka, orang tertentu membuat pilihan-pilihan tertentu yang memungkinkan mereka menjadi pemimpin. Dr. Noel Tichy pada dasarnya juga mengatakan bahwa pemimpin tidak dilahirkan, tapi diajar. Sekali lagi, dalam hal ini pun berlaku hal yang sama: bukan ajaran itu sendiri yang menentukan; tetapi orang tertentu membuat pilihan untuk mau diajar, dan mau mengikuti ajaran itu. Dengan demikian, dalam kedua pandangan tersebut, para penulis buku terkenal itu pada dasarnya mengatakan hal yang sama: pemimpin tidak dibuat dan tidak dilahirkan, tetapi “dibuat sendiri”—kepemimpinan adalah sebuah “fungsi” dari pilihan; dengan kata lain, kepemimpinan terkait amat erat dengan pilihan.
BILA kita MENGKAJI kehidupan semua pemimpin yang mencapai prestasi gemilang—yaitu orang-orang yang memiliki pengaruh besar terhadap sesamanya, mereka yang telah berjasa besar, dan orang-orang yang telah mewujudkan hal-hal yang luar biasa—Kita akan menemukan sebuah pola. Melalui upaya dan perjuangan batin mereka yang terus-menerus tanpa henti, mereka telah mengembangkan keempat kemampuan atau kecerdasan bawaan mereka. Perwujudan tertinggi dari keempat kecerdasan itu adalah: untuk kecerdasan mental, VISI ; untuk kecerdasan fisik, DISIPLIN ; untuk kecerdasan emosional, GAIRAH ; untuk kecerdasan spiritual, nurani atau SUARA HATI .
Bila nurani mengarahkan visi, disiplin, dan gairah, ke-pemimpinan akan terus bertahan dan mengubah dunia ke arah yang baik. Dengan kata lain, kewibawaan moral akan membuat kekuasaan formal berhasil. Bila nurani tidak mengarahkan visi, disiplin, dan gairah, kepemimpinan tidak akan bertahan lama, demikian juga lembaga yang tercipta dari kepemimpinan seperti itu. Dengan kata lain, kekuasaan formal tanpa kewibawaan moral akan gagal.  Tetapi bila hanya nurani yg diasah, dimana waktu hanya dihabiskan untuk berzikir  dan berdoa tanpa mengasah hal yg lain hasilnya juga adalah konsep yg tidak tertata dengan jelas.  Seorang teman pernah berkeluh kesah  sudah menghabiskan duit banyak sekedar mengirim karyawan untuk mengikuti  pelatihan yg kondang dengan istilah  SQ ( termasuk di Malaysia, sebelum dilarang ) , tetapi produktivitas tidak meningkat juga. Hal itu mungkin terjadi karena aspek dari visi , disiplin dan passion (gairah)  tidak ada.
Adolf Hitler amat getol menyebarkan visinya mengenai kejayaan seribu tahun kekuasaan Kekaisaran Ketiga (Third Reich) dan ras Arya yang unggul. Dia membangun salah satu mesin industri-militer yang paling disiplin yang pernah disaksikan oleh dunia. Dia jelas menunjukkan kecerdasan emosional yang luar biasa dalam pidato-pidatonya yang selalu berapi-api, yang mampu meng-ilhami massa pendengarnya dengan ketakutan dan pengabdian yang fanatik, yang kemudian dia salurkan dalam bentuk kebencian dan penghancuran. Kendati demikian, terdapat perbedaan besar antara kepemimpinan yang “berhasil” dan kepemimpinan yang “terus bertahan, dan tak lekang oleh waktu.”
Ketika seorang pemimpin mengatakan yg pertama tama saya lakukan ketika terpilih adalah : melenyapkan si A, si B dll, itu berarti visi, disiplin dan gairah hidup diarahkan oleh kekuasaan formal yang tidak memiliki nurani atau kewibawaan moral. Organisasi pasti akan berubah karenanya, tetapi bukan demi kebaikan, melainkan demi keburukan. Alih-alih mengangkat, dia akan menghancurkan. Kekuasaan seperti itu tak akan bertahan, dan akan lenyap.Banyak yang telah dikatakan mengenai pentingnya nurani atau suara hati. Ada banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa nurani—yaitu kesadaran moral kita, cahaya batin kita—merupakan fenomena yang bersifat universal. Kodrat rohani dan kodrat moral manusia itu terlepas dari agama, atau pendekatan agama, budaya, geografi, nasionalitas, atau ras tertentu. Kendati demikian, semua tradisi agama besar di dunia ini bertemu dalam prinsip atau nilai dasar tertentu.
Immanuel Kant berkata, “Saya selalu dibuat kagum oleh dua hal: langit berbintang-bintang di atas kita, dan hukum moral di dalam diri kita.” Nurani adalah hukum moral di dalam diri kita. Itu adalah tumpang tindih antara hukum moral dan perilaku. Banyak orang yang percaya, demikian juga saya, bahwa nurani adalah suara Tuhan kepada anak-anak-Nya. Orang lain mungkin saja tidak memiliki keyakinan seperti ini, tetapi tetap mengakui adanya suatu pemahaman yang sudah mereka bawa sejak lahir mengenai kejujuran dan keadilan, mengenai benar dan salah, mengenai apa yang baik dan buruk, mengenai apa yang mendukung dan apa yang mengganggu, mengenai apa yang memperindah dan yang merusak, mengenai yang benar dan salah.
Jadi..mau dibuat atau dilahirkan yg penting keempat hal tersebut terpenuhi, terutama yg terakhir seperti yg dikutip dari kata George Washington :” Berupayalah untuk mempertahankan percikan api ilahi yang disebut nurani itu tetap menyala”.
Coba renungkan tujuh hal yang menurut Gandhi akan meng-hancurkan kita. Bila di kaji ketujuh hal itu dengan hati-hati dan cermat, kita akan melihat bahwa masing-masing mewakili suatu tujuan yang dicapai melalui cara yang tidak semestinya, cara yang mengingkari prinsip-prinsip yang benar:
• Kekayaan tanpa kerja
• Kenikmatan tanpa nurani
• Pengetahuan tanpa karakter
• Bisnis tanpa moralitas
• Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan
• Ibadah tanpa pengorbanan
• Politik tanpa prinsip
Menarik sekali bahwa masing-masing tujuan mulia itu dapat dicapai dengan cara yang salah. Tapi, bila kita meraih tujuan yang pantas dikagumi itu dengan cara yang salah, tujuan itu sendiri akhirnya berubah menjadi debu di tangan . Nah kalo sudah jelas itu semua, jangan mencari pemimpin yg kira kira akan begitu? Seorang pemimpin atau calon pemimpin bisa terlihat dari trak masa lalunya.
(Excerp from the 8th habit)

Categories: Human Resources Management | Leave a comment

Post navigation

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.