17 Agustus tahun ini bertepatan dengan bulan Ramadhan sama seperti 67 tahun yang lalu ketika Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan negara ini yang juga terjadi pada bulan puasa. Dipilihnya tanggal 17 pada bulan ramadhan kemungkinan beliau terinspirasi dengan 17 ramadhan yang merupakan hari turunnya Al Qur’an yang kemudian menjadi panduan bagi umat Islam untuk menjalankan kehidupan dengan prinsip yang jelas untuk menentukan mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh. Menjelang hari kemerdekaan ini, benarkah kita betul betul berada di jalur seperti yang diinginkan oleh para pendiri negara ini dulu. Di tengah keterpurukan demi keterpurukan seperti terhentinya tradisi mendapatkan medali emas olimpiade, korupsi yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi penegak hukum, mengkorupsi pengadaan kitab suci, toh Pak Be Ye masih bisa bangga dengan pertumbuhan kita yang tertinggi di Asean (6.4%). Masalahnya adalah pertumbuhan itu untuk siapa? Ditengah hiruk pikuknya gelombang umrah di bulan ramadhan yang tidak putus putusnya di bandara sebagai bukti pertumbuhan dan sadarnya akan nilai religi, pada sisi lain kita juga harus menyaksikan antrian para penggemis yang semakin mengular minta sedekah di mesjid pada saat menjelang dan sesudah berbuka puasa.
Menyikapi fenomena ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau umat Islam yang ingin bersedekah dan berzakat sebaiknya menyalurkan ke lembaga zakat atau masjid agar sumbangan yang diberikan tepat sasaran.
“Kemiskinan tidak boleh dieksploitasi dan mengemis juga tidak boleh jadi profesi. Untuk itu, negara harus hadir, negara berperan untuk memfasilitasi dan menjamin simbiosa mutualistik. Negara harus menjamin terlaksananya kewajiban orang kaya untuk membayar zakat dan terdistribusikannya zakat kepada yang berhak secara tepat,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam,
Kalau pajak yang dibayar sering diembat , pengadaan Qur’an di korupsi, polisi yang seharusnya jadi penegak hukum-pun ikut bermain, yang mau percaya kepada lembaga negara siapa? Jadi jangan salahkan kalau para dermawan kita ini langsung memberikan Bantuan Langsung Tunai kepada penggemis penggemis yang makin hari makin mengular karena ilmu getok tularnya...hei di Mesjid XYZ banyak dermawan..itulah kira kira yang beredar di SMS dan BBM para pencari rezeki ramadhan ini.
Potret banyaknya para penggemis baik yang musiman maupun profesional, ratapan banyaknya keluarga keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anaknya, serta banyaknya pekerja migran ke negara jiran merupakan suatu indikator bila pertumbuhan ekonomi yang diagung agungkan dan dibanggakan tersebut tidak diikuti dengan makin sejahteranya rakyat sehingga dicurigai pertumbuhan tersebut merupakan pertumbuhan tidak normal (anomali) sama seperti menjelang kejatuhan Indonesia pada krisis moneter tahun 1997. Layak untuk dicurigai duit pertumbuhan itu berasal dari hutang ( mencapai Rp 2.870 triliun) yang dijadikan sumber pendapatan utama pemerintah dan menjadikannya sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Kalau ente tidak kerja bro..tapi lu bisa tampil keren dengan gadget dan mobil tercanggih mungkin saja karena lu berani ngutang atau dapat warisan. Begitu lah halnya negara kita dengan pertumbuhannya. Mau dapat warisan dari mana? Belanda yang pernah jadi tuan kita aja sekarang megap megap kena krisis di Eropa sono. So, ngutang tentunya?
Disamping hutang ada beberapa hal yang harus dicermati mengenai pertumbuhan tersebut. Pertama, konsentrasi pertumbuhan tetap terpusat di Pulau Jawa dengan angka 57,5 persen sementara di luar Jawa masih berkutat dengan giliran pemadaman listrik dan infrastruktur. Masih sering diberitakan selama bulan puasa ini di beberapa daerah yang terpaksa harus tarawih dalam kegelapan karena listrik mati.
Potret Kemiskinan Di Luar Jawa
Kedua, pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan konsumsi masyarakat yang bersumber dari naiknya harga sandang dan pangan, serta ditopang dari pertumbuhan kredit, khususnya kredit konsumsi.
Ketiga, disamping mengekspor TKI ke Timur Tengah dan Malaysia, pertumbuhan ekonomi didorong ekspor bahan mentah, seperti bahan tambang, migas, hasil perkebunan dan hutan, sehingga tidak banyak menciptakan nilai tambah dan lapangan pekerjaan.
Terakhir, pertumbuhan ekonomi didorong oleh investasi luar negeri yang membuat sumber daya kian dikuasai asing. Lihat saja Mandala Air milik Singapore Airlines, Batavia Air jadi milik Air Asia, dan Malaysia sudah menguasai 20% perkebunan sawit di Indonesia dan yang paling ironis adalah Air Asia yang memonopoli jalur Kuala Lumpur – Surabaya tanpa ada perlawanan dari maskapai lokal dan akibatnya bisa ditebak sendiri menjelang lebaran ini tiket KL – SBY sekali jalan sudah mencapai RM 1400 – hampir 5 juta rupiah one way.
Setelah 67 tahun merdeka dan 14 tahun reformasi, politik menjadi semakin berisik sebagai ”ajang adu omong kosong ” dalam skala besar, arena saling menjelekkan, klaim partainya lebih reformis dll tetapi kondisi dilapangan menunjukkan belum ada tanda bahwa pelbagai perubahan itu kian mendekatkan bangsa ke jalur kemenangan karena sikap penyelenggara negara tetap lebih melayani kepentingan sendiri dan kelompoknya ketimbang kepentingan bangsa secara keseluruhan. Jadi apa sebenarnya yang kita dapat dari reformasi selain makin banyaknya partai partai baru yang kesemuanya mengklaim lebih reformis dan mengumbar janji akan masa depan Indonesia yang lebih baik.
Melihat kondisi pasca reformasi sepertinya benar dictum Neguib Mafaouz’ seorang pengarang terkenal Mesir yang mengatakan ” revolutions are initiated by dreamers, carried out by brave people, and profited by coward people” yang mana dalam konteks Indonesia berbunyi : Reformasi di mulai oleh para visionaris, di lakukan oleh orang orang berani tetapi para pengecut lah yang mendapatkan keuntungan dari reformasi tersebut. Sekedar melihat kebelakang di tahun 1998; betapa Pak Amien Rais yang visionaris dan ribuan mahasiswa mahasiswa dan elemen elemen masyarakat berani yang dengan garangnya meneriakkan reformasi dan mengepung gedung MPR RI…..dimanakah mereka mereka ini sekarang..dan pada saat mereka berjuang diantara desingan peluru karet dan semburan gas air mata, dan adakah yang tahu dimanakah para petinggi PD yang menjadi penguasa negara saat ini seperti Pak Marzuki, Angelina Sondakh dan Nazarudin saat itu?
Kita ternyata masih mencari pola bagaimana mengelola negara ini sehingga kementrian agama dan polisi yang seharusnya menjadi benteng terakhir paling tidak nggak ikut korupsi-pun sudah roboh. Nah sekarang mau apa?
Seorang guru meditasi selalu bergumam, Minumlah Teh mu yang kira kira kalo dimaknai berarti lakukan lah apa yang menjadi bagianmu. Kalau anda penyanyi dangdut ya nyanyi dangdutlah..tidk perlu berkampanye jadi politisi sampai terkena isu SARA dan kalo anda politisi ya jadilah politisi yang baik, jangan nyambi jadi kontraktor, kalau anda Professor mengajar dan lakukanlah penelitian yang baik, jangan sambil nyogok anggota DPR. Hal ini sejalan dengan Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, ”Rakyat tidaklah akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun penguasa tidak akan baik kecuali dengan kejujuran rakyat. Maka, jika rakyat melakukan kepada penguasa haknya dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak mereka tidak akan terjadilah carut marut seperti sekarang ini..so simple, jadi tidak perlu debat di layar kaca dikemas dengan nama macam dan berkicau di Twitter mengaku yang paling hebat dengan argumentasinya masing masing. Cukup kerjakan sesuatu berdasarkan JUKLAK dan JUKNIS yang sudah ada, jangan mencari celahnya untuk kepentingan pribadi. Itulah yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia sehingga rakyatnya sejahtera..bekerja berdasarkan JUKLAK dan JUKNIS. Daripada studi banding jauh jauh ke Eropa atau Amerika, menyebranglah belajar kesini..tidak perlu malu.
Dirgahayu Indonesia.