Menyaksikan berita berita politik di Indonesia memang membuat kita makin pesimis akan masa depan negeri ini. Tapi jangan lupa suatu negara yang baik ekonomi mengendalikan politik, bukan sebaliknya. Boleh saja Lady Gaga tidak jadi show karena tekanan satu kelompok, Partai Demokrat yang sedang sibuk diterpa berbagai isu internal, si A mau jadi presiden untuk tahun 2014, di tataran pelaku ekonomi, the show must go on. Semua pengamat ekonomi dunia tentang kekuatan kekuatan ekonomi baru setelah terpuruknya Amerika Serikat dan negara negara Eropa Barat selalu menempatkan Indonesia dalam daftarnya. Sebut saja Jim O’Neill dari Goldman Sachs dengan the BRICS (Brazil, Russia, India, China, and now South Africa), dan the “Next 11” (Bangladesh, Egypt, Indonesia, Iran, Mexico, Nigeria, Pakistan, the Philippines, Turkey, South Korea, and Vietnam) dan yang paling gres, MIST (Mexico, Indonesia, South Korea, and Turkey). Robert Ward dari the Economist Intelligence Unit menambahkan CIVETS (Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey, and South Africa.) Dalam Harvard Business Review yang baru di tulis pada tanggal 29 Mei 2012, Indonesia di tempatkan sebagai salah satu Pivot States yang di definisikan sebagai: negara yang mampu menciptakan hubungan yang saling menguntungkan tanpa harus tergantung kepada satu negara secara keseluruhan . Sedangkan negara negara yang pertumbuhannya di kategorikan sebagai Shadow States adalah negara negara yang sekalipun tumbuh tetapi sangat tergantung kepada satu negara. Contohnya Meksiko yang pertumbuhannya sangat tergantung kepada Amerika.
Melihat hal ini tentu kita penasaran, bagaimana negara dimana para pengamat selalu mengumbar pesimisme, kok bisa tumbuh. Yodhia Antariksa seorang konsultan manajemen di (http://strategimanajemen.net/2011/10/03/kenapa-indonesia-akan-menjadi-the-next-economic-superpower/#comment-12238) memberikan analisa yang sangat menarik.
Salah satu ukuran sukses tidaknya ekonomi sebuah bangsa, selalu dilihat dari besarnya PDB atau produk domestik bruto (atau GDP/Gross Domestic Product) yang merupakan total output/produksi yang dihasilkan oleh sebuah negara : mulai dari produksi sepatu, tas, koper oleh pengrajin di Tanggulangin Sidoarjo yang sempat terhenti gara gara Lumpur Lapindo hingga hasil minyak Pertamina yang sampai sekarang masih belum memiliki kilang pemrosesan minyak mentah untuk kategori premix dan pertamax Plus sehingga mulai hari ini kita harus beli yang non subsidi. Dan negeri kita, karena jumlah penduduknya yang amat banyak, rajin serta kreatif dengan berbagai industri baik di sektor formal maupun informal serta wilayah yang maha luas termasuk negara dengan PDB yang relatif besar yakni : 6,000 trilyun rupiah (atau berada pada posisi 18 terbesar di dunia).
Nah, angka PDB itu juga yang dijadikan dasar untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Jadi, kalau di koran-koran kita dengar ekonomi Indonesia akan tumbuh 6 %, maka patokannya adalah : angka PDB yang besarnya sudah Rp 6,000 trilyun akan tumbuh 6 % (atau tumbuh sebesar Rp 360 trilyun rupiah). Angka pertumbuhan 6 % tergolong bagus (Eropa dan Amerika hanya bisa tumbuh 1,5%; jadi kita bisa tumbuh 4 kali lipat dibanding mereka !!).
Dengan basis angka PDB yang sudah cukup besar, dan didukung dengan angka pertumbuhan yang meyakinkan (yakni antara 6 – 7%), Indonesia PASTI akan menjadi raksasa ekonomi di masa depan. Yang mungkin juga layak dicatat adalah ini : jumlah size PDB yang 6000 triyun itu, mayoritasnya (sekitar 63%) di sumbang oleh konsumsi domestik. Atau oleh belanja konsumen domestik, atau ya oleh kita-kita ini : mulai dari membeli Blackberry Bold 9900 hingga ambil Vario gres di dealer motor; nyicil city car dengan cc dibawah 1500 demi subsidi, jalan-jalan sambil makan siang di Mall hingga pijat di panti pijat.
Konsumen Indonesia memang amat powerful. Peluang bisnis dan prospek pasar di negeri ini sedemikian menggiurkan, dan inilah kesempatan emas bagi siapa saja untuk menjalankan bisnis (kalau ndak percaya tanya Toyota dan Nestle kenapa mereka mau bikin pabrik baru di Cikarang, masing-masing senilai 2 trilyun). Juga Blackberry yang membangun pabriknya di Malaysia karena gak mau jauh jauh dari Indonesia.
Elemen lain yang juga akan membuat Indonesia menjadi superpower ekonomi adalah ini : bonus demografi. Ini istilah yang lazim digunakan untuk menyebut sebuah negara yang punya komposisi penduduk yang produktif. Indonesia termasuk disitu : dari 235 juta penduduk kita, mayoritas berada pada usia produktif (atau antara 17 sd 60 tahun). Dan ini akan memberi efek dahsyat bagi kemajuan ekonomi.
Negara-negara maju, termasuk Jepang, sebaliknya. Mayoritas penduduk mereka berada pada usia lanjut (dan tidak produktif). Sebutannya : negara yang menua, atau an aging nation. Dan ini malapetaka buat ekonomi bangsa. Jepang dan negera maju lainnya, pelan-pelan bisa hancur, sejalan dengan penduduknya yang jompo semua.
Dan satu hal penting yang menjadi pakem atau mantra di Asia Tenggara suatu produk akan bisa sukses kalau bisa diterima di Indonesia dan Singapore. Makanya jangan heran sejak zaman Nokia belum runtuh, kemudian di lanjutkan oleh Blackberry dan Android, semua produk terbarunya selalu di launching kalau tidak di Indonesia ..ya Singapore. Air Asia Malaysia sukses karena produknya di terima di dua negara ini, bandingkan dengan Proton Malaysia yang terseok seok, alasannya ya belum bisa di terima di Indonesia.
Ironisnya media massa kita jarang menampilkan hal ini. Media massa lebih tertarik menyoroti Prof. Dr. Miranda Goeltom yang ditahan KPK, Menteri Dahlan yang mengamuk di gerbang Tol, Fatwa NU tentang melawan Pancasila, panjangnya antrean bensin dimana mana. Justru media internasional yang berkali-kali membahas masa depan gemilang ekonomi Indonesia termasuk Harvard Business Review di link ini:
http://blogs.hbr.org/cs/2012/05/which_countries_will_rise_to_t.html
Bila selevel HBR saja yakin, apa lagi yang kita ragukan? Amerika memang putaran waktunya sedang turun, Eropa memang sedang dibelit krisis, Indonesia memang sedang menata ulang dirinya. Selamat berkarya untuk masa depan yang lebih baik saudara saudara sebangsa dan setanah air!